Ekonomi indonesia dalam Perspektif Hukum dan Realitas
Bung Hatta melalui artikelnya yang berjudul “Ekonomi Rakyat” yang
diterbitkan dalam harian Daulat Rakyat (20 November 1933), mengekspresikan
kegundahannya melihat kondisi ekonomi rakyat Indonesia di bawah penindasan
pemerintah Hindia Belanda. Dapat dikatakan bahwa “kegundahan” hati Bung Hatta
atas kondisi ekonomi rakyat Indonesia—yang waktu itu masih berada di bawah
penjajahan Belanda, merupakan cikal bakal dari lahirnya, katakanlah demikian,
konsep ekonomi kerakyatan.
Lebih jauh, pemikiran
mengenai pentingnya perekonomian yang berpihak kepada rakyat menjadi dasar bagi
lahirnya Pasal 27 dan 33 Undang Undang Dasar 1945. Kedua pasal tersebut
kemudian menjadi dasar ertimbangan dilahirkannya Undang Undang Perkoperasian
(UU Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992) dan Undang Undang Usaha Kecil dan
Menengah (UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008). Dengan demikian, tampak
jelas adanya keterkaitan yang erat antara ekonomi kerakyatan dengan koperasi
dan usaha kecil dan menengah.
Bahasan tentang peran
kedua sektor usaha tersebut (koperasi dan usaha kecil dan menengah) dalam
mewujudkan ekonomi kerakyatan relatif jarang mengemuka. Namun, berkaca pada
keadaan ekonomi saat ini yang sepertinya baik—sebagaimana diindikasikan oleh
tingkat pertumbuhan ekonomi tahun 2010 sebesar 6,10 persen—tetapi dibarengi
oleh kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin yang semakin
melebar—sebagaimana diindikasikan oleh fakta yang menunjukkan bahwa dua persen
penduduk terkaya menguasai asset nasional sebesar 46 persen dan 98 persen
penduduk menguasai 54 persen asset nasional (Suryohadadiprojo, 2011),
Ekonomi Kerakyatan di Indonesia
Pada akhir tahun 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa dalam empat hingga lima tahun ke depan, produk domestik bruto (PDB) Indonesia akan mencapai 9 ribu triliun rupiah atau dua ribu triliun rupiah lebih tinggi daripada PDB tahun 2010. Lebih jauh dijelaskan oleh Menko Perekonomian bahwa pada tahun 2025 PDB Indonesia akan berada pada kisaran antara 3,7 hingga 4,7 triliun dolar AS dengan pendapatan per kapita antara 12 ribu hingga 16 ribu dolar AS yang setara dengan lebih kurang 8,5 juta hingga 11 juta rupiah per kapita per bulan. Capaian yang cukup spektakuler tersebut akan direalisasikan melalui penggunaan “sistem ekonomi terbuka” yakni: sistem ekonomi yang mengutamakan peran pasar meski peran pemerintah tetap besar” (Suryohadiprojo, 2011).
Jelas dari ungkapan presiden dan pembantunya di atas, tatanan ekonomi Indonesia, diakui atau tidak, tidak lain adalah—atau paling tidak, sebagaimana dikemukakan Suryohadiprojo (2011), lebih mengarah ke tatanan ekonomi neoliberasme
neoliberalisme diterapkan oleh lembaga keuangan dunia yang sangat kuat yakni International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, dan the Inter-American Development Bank. Ciri lain dari ekonomi neoliberalisme adalah fokusnya yang kuat pada pertumbuhan ekonomi yang biasa direpresentasikan, antara lain, oleh produk domestik bruto (PDB).
Dampak langsung dari diterapkannya sistem ekonomi neoliberalisme adalah turunnya upah sebesar 40 hingga 50 persen dan meningkatnya biaya hidup hingga 80 persen pada tahun pertama pemberlakuan NAFTA (North America Free Trade Agreement) di Meksiko. Lebih dari 20 ribu unit usaha kecil dan menengah mengalami kepailitan dan tidak kurang dari seribu unit badan usaha milik pemerintah (semacam BUMN) diprivatisasi. Berdasarkan pada fenomena tersebut, ada pihak yang mengatakan bahwa neolibelisme di Amerika Latin tidak lain adalah neokolonialisme—bentuk penjajahan baru.
Pada akhir tahun 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa dalam empat hingga lima tahun ke depan, produk domestik bruto (PDB) Indonesia akan mencapai 9 ribu triliun rupiah atau dua ribu triliun rupiah lebih tinggi daripada PDB tahun 2010. Lebih jauh dijelaskan oleh Menko Perekonomian bahwa pada tahun 2025 PDB Indonesia akan berada pada kisaran antara 3,7 hingga 4,7 triliun dolar AS dengan pendapatan per kapita antara 12 ribu hingga 16 ribu dolar AS yang setara dengan lebih kurang 8,5 juta hingga 11 juta rupiah per kapita per bulan. Capaian yang cukup spektakuler tersebut akan direalisasikan melalui penggunaan “sistem ekonomi terbuka” yakni: sistem ekonomi yang mengutamakan peran pasar meski peran pemerintah tetap besar” (Suryohadiprojo, 2011).
Jelas dari ungkapan presiden dan pembantunya di atas, tatanan ekonomi Indonesia, diakui atau tidak, tidak lain adalah—atau paling tidak, sebagaimana dikemukakan Suryohadiprojo (2011), lebih mengarah ke tatanan ekonomi neoliberasme
neoliberalisme diterapkan oleh lembaga keuangan dunia yang sangat kuat yakni International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, dan the Inter-American Development Bank. Ciri lain dari ekonomi neoliberalisme adalah fokusnya yang kuat pada pertumbuhan ekonomi yang biasa direpresentasikan, antara lain, oleh produk domestik bruto (PDB).
Dampak langsung dari diterapkannya sistem ekonomi neoliberalisme adalah turunnya upah sebesar 40 hingga 50 persen dan meningkatnya biaya hidup hingga 80 persen pada tahun pertama pemberlakuan NAFTA (North America Free Trade Agreement) di Meksiko. Lebih dari 20 ribu unit usaha kecil dan menengah mengalami kepailitan dan tidak kurang dari seribu unit badan usaha milik pemerintah (semacam BUMN) diprivatisasi. Berdasarkan pada fenomena tersebut, ada pihak yang mengatakan bahwa neolibelisme di Amerika Latin tidak lain adalah neokolonialisme—bentuk penjajahan baru.
Strategis Hukum dalam
Pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia di Era Globalisasi
Dalam mendesain struktur hukum ekonomi nasional Indonesia
haruslah berpedoman dengan cita hukum dan nilai-nilai dasar yang terjabar dalam
UUD 1945 sebagai strategis hukum. Nilai yang dimunculkan adalah nilai-nilai
hukum Pancasila. Nilai-nilai tersebut merupakan dasar bagi pembangunan Hukum
Ekonomi nasional yang dapat menimbulkan struktur ekonomi soisal masyarakat
Indonesia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan perangkat hukum yang
dibutuhkan adalah perangkat hukum yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat
Indonesia di dalam era global dan yang mampu menampung cita hukum nasional
dalam rangka mencapai tujuan nasional.
Adaptasi terhadap
kecenderungan global tersebut dilakukan dengan melalui ratifikasi konvensi
internasional dengan undang-undang maupun keputusan presiden. Dalam pembentukan
hukum dan penegakan hukum harus tergambar pula karateristik hukum modern. Namun
demikian, Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia dan UUD 1945
menjadi syarat utama di samping persyaratan-persyaratan lain. Pancasila
merupakan instrumen dari “Margin of Appreciation doctrine”, dalam arti
Pancasila menjadi acuan parameter bagi penerapan “Margin of Appreciation
Doctrine.
Tujuan Dari Penerapan Hukum Ekonomi di Indonesia
Berikut ini adalah beberapa tujuan dari penerapan hukum
ekonomi Indonesia.
- Mengatur peraturan hukum agar mudah dalam perencanaan yang berkaitan dengan hal perekonomian.
- Terjadinya pemerataan pembangunan dan pemerataan distribusi pendapatan jika merujuk kepada hukum pembangunan nasional. Hal ini menyangkut kepada hukum ekonomi sosial yang berisi pemerataan pembangunan agar semua hasil pembangunan bisa dinikmati oleh semua kalangan lapisan masyarakat dimana pun mereka berada dalam wilayah Indonesia.
- Mengatur kebijakan ekonomi agar tidak terjadi pelanggaran hukum dalam aspek sosial saat di ambil sebuah keputusan kebijakan ekonomi.
Inti dari tujuan hukum ekonomi ini adalah semua kebijakan atas dasar kepentingan masyarakat dan negara, sehingga kepentingan negara tercapai tanpa harus menyengsarakan masyarakat.
Itulah beberapa dari hukum ekonomi yang terjadi dan terdapat di negara Indonesia, baik secara yang mudah terlihat atau pun di alami. Sehingga ke depannya diharapkan bisa berjalan dengan baik dan berfungsi dengan selayaknya untuk seluruh kemaslahatan masyarakat Indonesia.
Realita penerapan sistem ekonomi Indonesia
“ Ekonom dari Universitas Gajah Mada (UGM)
Mudrajad Kuncoro mengatakan, sebanyak 40% kelompok penduduk berpendapatan
terendah makin tersisih. Kelompok penduduk ini hanya menikmati porsi
pertumbuhan ekonomi 19,2% pada 2006, makin mengecil dari 20,92% pada 2000.
Sebaliknya, 20% kelompok penduduk terkaya makin menikmati pertumbuhan ekonomi
dari 42,19% menjadi 45,72%.
Di Yogyakarta, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto mengungkapkan, tingginya angka kemiskinan nasional antara lain akibat adanya monopoli kepemilikan aset ekonomi oleh segelintir orang. Angka nasional menyebutkan, 0,2$ dari 220 juta pendudukan Indonesia diduga telah menguasai 56% aset ekonomi Indonesia.
Monopoli kepemilikan asset itu meliputi kekayaan dalam hal agraria, seperti tanah, tambak, kebun dan properti. “Sebanyak 62-87% aset itu berupa aset agraria. Data ini memang perlu dikaji lebih mendalam dan belum bisa menjadi acuan, karena baru merupakan data awal,” kata Joyo Winoto ketika berceramag di Universitas Gajah Mada (UGM),” (sebuah kutipan dari artikel)
Di Yogyakarta, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto mengungkapkan, tingginya angka kemiskinan nasional antara lain akibat adanya monopoli kepemilikan aset ekonomi oleh segelintir orang. Angka nasional menyebutkan, 0,2$ dari 220 juta pendudukan Indonesia diduga telah menguasai 56% aset ekonomi Indonesia.
Monopoli kepemilikan asset itu meliputi kekayaan dalam hal agraria, seperti tanah, tambak, kebun dan properti. “Sebanyak 62-87% aset itu berupa aset agraria. Data ini memang perlu dikaji lebih mendalam dan belum bisa menjadi acuan, karena baru merupakan data awal,” kata Joyo Winoto ketika berceramag di Universitas Gajah Mada (UGM),” (sebuah kutipan dari artikel)
Dari kutipan ini dapat kita melihat bahwasanya sitem penerapan konsep
perkonomian yang berbasis kerakyatan masih mengalami persoalan, persoalannya
adalah ketidak seriusan pemerintah dalam mensosialisasikan sistem
perkooprasian, saat ini dalam benak masyarakat kecil kooprasi adalah rentenir
sebab tidak sedikit di jumpai di pasar tradisional para rentenir yang mengatas
namakan kooprasi namun tidak memiliki badan hukum sebagai mana yang di atur
dalam UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Hal ini cukup memberikan
pemahaman pada kita bahwasanya ada ketidak seriusan pemerintah dalam memberikan
pengetahuan tentang perkooprasian.
Perbankan justru lebih banyak memberikan pinjaman modal Kepada UKM. UKM
merupakan salah satu proses penerapan sistem prekonomian yang berbasis
kerakyatan di mana sektor usaha di pegang oleh masyarakat namun yang paling
mengambil keuntunngan dalam hal ini adalah pihak pemodal (Perbankan) baik
disadari ataupun tidak. Bukankah dalam konsep ekonomi kerakyatan juga memiliki
asas dari, oleh dan untuk rakyat.
kooprasi adalah merupakan jalan tengah untuk mengatasi persoalan modal usaha rakyat, dalam sistem kooprasi ada yang namanya anggota. Seandainya pelaku UKM merupakan anggota kooprasi bukankah jika mereka meminjam modal di kooprasi tersebut maka pada akhir tahun mereka jugalah yang akan menerima keuntungannya.
Selain simpan pinjam kooprasi juga dapat memiliki usaha lain seperti angkutan umum, penjualan bahan keperluan petani atau agen penjualan hasil bumi untuk menggantikan tingkah para tengkulak (juka anggotanya petani) ataupun lainnya sesuai kesepakatan anggota. Realitanya adalah masyarakat tidak paham betul mengenai hal ini, ketidak seriusan pemerintah dalam memberikan pemahaman tentu menjadi persoalan di tambah lagi pemerintah justru lebih banyak memberikan peluang bagi perbankan untuk bersosialisasi diri seperti yang kita lihat beberapa waktu lalu melalui program KUR (kredit usaha rakyat) melalui bank BRI, bank-bank daerah juga demikian dan sepertinya memang negara ini lebih berorientasi kearah neolibralisasi yang dingkus dengan ekonomi kerakyatan dan di beri sedikit parfum pinjaman modal dengan bunga kecil hingga akhirnya mampu menggoda pelaku usaha kecil menenga (UKM)
Memberikan pendidikan tentang sistem perkooprasian yang kemudian kooprasi memberikan pendidikan pada masyarakat sekitar mengenai langkah-langkah mendirikan usaha kecil adalah merupakan sebuah upaya yang mesti di tempu sejak dahulu.
Tidak mengherankan bagi saya jika kemudian saat pelaksaan LK 3 badko sumut beberapa waktu lalu membahas keadilan ekonomi dan keadilan sosial lebih di arahkan kepada sistem perkooprasian yang hal ini di motori oleh kakanda pera sagala. Walaupun pemateri justru lebih banyak memberikan arahan kepada persoalan perbankan namun di luruskan kembali oleh para master.
kooprasi adalah merupakan jalan tengah untuk mengatasi persoalan modal usaha rakyat, dalam sistem kooprasi ada yang namanya anggota. Seandainya pelaku UKM merupakan anggota kooprasi bukankah jika mereka meminjam modal di kooprasi tersebut maka pada akhir tahun mereka jugalah yang akan menerima keuntungannya.
Selain simpan pinjam kooprasi juga dapat memiliki usaha lain seperti angkutan umum, penjualan bahan keperluan petani atau agen penjualan hasil bumi untuk menggantikan tingkah para tengkulak (juka anggotanya petani) ataupun lainnya sesuai kesepakatan anggota. Realitanya adalah masyarakat tidak paham betul mengenai hal ini, ketidak seriusan pemerintah dalam memberikan pemahaman tentu menjadi persoalan di tambah lagi pemerintah justru lebih banyak memberikan peluang bagi perbankan untuk bersosialisasi diri seperti yang kita lihat beberapa waktu lalu melalui program KUR (kredit usaha rakyat) melalui bank BRI, bank-bank daerah juga demikian dan sepertinya memang negara ini lebih berorientasi kearah neolibralisasi yang dingkus dengan ekonomi kerakyatan dan di beri sedikit parfum pinjaman modal dengan bunga kecil hingga akhirnya mampu menggoda pelaku usaha kecil menenga (UKM)
Memberikan pendidikan tentang sistem perkooprasian yang kemudian kooprasi memberikan pendidikan pada masyarakat sekitar mengenai langkah-langkah mendirikan usaha kecil adalah merupakan sebuah upaya yang mesti di tempu sejak dahulu.
Tidak mengherankan bagi saya jika kemudian saat pelaksaan LK 3 badko sumut beberapa waktu lalu membahas keadilan ekonomi dan keadilan sosial lebih di arahkan kepada sistem perkooprasian yang hal ini di motori oleh kakanda pera sagala. Walaupun pemateri justru lebih banyak memberikan arahan kepada persoalan perbankan namun di luruskan kembali oleh para master.
Referensi :
Komentar
Posting Komentar